Pages

Sunday, March 23, 2014

Mikroorganisme Pendegradasi Hidrokarbon

Senyawa Hidrokarbon
Minyak bumi merupakan sumber energi utama manusia pada zaman modern.Minyak bumi menjadi harta yang paling berharga bagi manusia dalam bidang energi berkelanjutan yang harganya cukup mahal. Mahalnya harga minyak bumi ini berbanding lurus terhadap proses dan cara untuk memperolah minyak bumi tesebut. Minyak bumi pada dasarnya terbentuk dari fosil zaman dahulu didalam tanah yang akhirnya terbentuk senyawa hidrokarbon kompleks.

Sebagai sumber energi utama penduduk bumi, tentu saja minyak bumi dapat ditemukan dimana saja.Hingga akhirnya, minyak bumi sekarang bukan seja berfungsi secara tunggal dalam memenuhi kebutuhan energi, tetapi pada akhirnya juga menjadi masalah lingungan yang serius karena pencemarannya.Pencemaran lingkungan oleh minyak bumi dan senyawa hidrokarbon lainnya bukanlah menjadi masalah baru bagi lingkungan.Pencemaran ini dapat ditemukan seperti kebocoran pipa saluran, kecelakaan pengangukutan, kebocoran kapal pengangkut bahan bakar, dan tengki pnyimpanan yan pecah.Bahkan lebih parahnya lagi, pencemaran tanah oleh minyak bumi dan senyawa hidrokarbon lainnya dapat kerusakan luas pada ekosistem lokal karena terjadi akumulasi senyawa tersebut di dalam jaringan hewan dan tumbuhan yang dapat menyebabkan kematian dan mutasi (Wongsa dkk, 2004).

Besarnya peluang dan kerusakan lingkungan akibat minyak bumi dan senyawa hidrokarbon lainnya, harus ditangani secara serius dan berkelanjutan.Penanganan pencemaran lingkungan akibat senyawa hidrokarbon pada dasarnya dapat dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Perlakuan secara fisika dapat dilakukan dengan cara pengabuan (incineration), kloronasi, ozonasi, pembakaran dan penggunaan surfaktan. tetapi menurut Pelezar (1986),penanggulangan pencemaran lingkungan dengan menggunakan metode secara kimi adan fisika membutuhkan biaya yang sangat besar, tetapi tidak dapat menghilangkan pencemaran lingkungan secara maksimal.

Pada dasarnya, terdapat juga mikroorganisme atau mikroba yang memanfaatkan hidrokarbon sebagai nutrisi dalam menyambung siklus hidupnya.Ini merupakan salah satu peluang dalam menyelamatkan lingkungan bumi dari kepungan hidrokarbon yang menggunung.Pemanfaatan mikroba tidak hanya dapat mereduksi dan memproses hidrokarbon tetapi juga menjadi keuntungan tersendiri bagi mikroba tersebut.  Terdapat beberapa cara yang digunakan mikroba dalam memanfaatkan hidrokarbon sebagai nutrisinya, salah satunya adalah dengan bioremediasi.

                                                                                                       

Bioremediasi
Bioremediasi merupakan memanfaatkan mikroorganisme dalam mendegradasi kontaminan di suatu lingkungan akibat senyawa hidrokarbon menjadi bentuk yang tidak mengandung racun. Bioremediasi awalnya merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Dalam proses bioremediasi, mikroba digunakan sebagai media untuk mengurangi senyawa organik dan bahan beracun yang berasal dari rumah tangga maupun limbah industri. sebagia salah satu teknik perbaikan terhadap lingkungan yang tersemar, bioremediasi dipandang sebagai metode yang murah dari segi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun (Dwidjosaputro, 1998).

Dalam melakukan bioremediasi, diperlukan biodegradasi senyawa hidrokarbon secara berkelanjutan dan terkontrol baik. Bioremediasi senyawa hidrokarbon dapat dilakukan dengan cara penambahan nutrient (biostimulasi) atau dengan penambahan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon secara langsung. Dalam hal ini, bakteri adalah mikroorganisme yang tepat dan umum digunakan dalam bioremediasi hidrokarbon.Bakteri dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon dan menggunakan senyawa tersebut sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan.

Pelaksanan bioremediasi dengan menggunakan bakteri pada dasarnya menmbutuhkan kerja sama lebih dari satu spesies bakteri. Hal tersebut karena senawa hidrokarbon seperti minyak bumi terbentuk dari bayak gugus yang berbeda dan bakteri hanya dapat menggunakan hidrokarbon pada kisaran tertentu.Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bakteri, diperlukannya suatu identifikasi yang tepat untuk menyesuaikan dengan kemampuannya dalam mendegradasi hidrokarbon. Beberapa bakteri yang memanfaatkan hidrokarbon sebagai senyawa pertumbuhan serta secara tidak langsung berperan dalam bioremediasi adalah :
1.1.1.      Pseudomonas sp
Pseudomonas spmerupakan salah satu bakteri yang memanfaatan bakteri menjadi biosurfaktan. Dengan demikian, jenis bakteri ini dapat di,amanfaatkan dengan baik dalam melakukan bioremediasi dengan hidrokarbon. Tetapi terdapat beberapa faktor, salah satu faktor tersebut adalah kelarutannya yang rendah, sehingga sulit mencapai sel bakteri.Dalam produksi biosurfaktan, berkaitan dengan keberadaan enzim regulatori yang berperan dalam sintesis biosurfaktan. Ada dua macam  biosurfaktan yang dihasilkan bakteri Pseudomonas :

  1. Surfaktan dengan berat molekul rendah (seperti glikolipid, soforolipid, trehalosalipid, asam lemak dan fosfolipid) yang terdiri dari molekul hidrofobik dan hidrofilik. Kelompok ini bersifat aktif permukaan, ditandai dengan adanya penurunan tegangan permukaan medium cair.
  2. Polimer dengan berat molekul besar, yang dikenal dengan bioemulsifier polisakarida amfifatik. Dalam medium cair, bioemulsifier ini mempengaruhi pembentukan emulsi serta kestabilannya dan tidak selalu menunjukkan penurunan tegangan permukaan medium.
  3. Biosurfaktan merupakan komponen mikroorganisme yang terdiri atas molekul hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut air dan mampu menurunkan tegangan permukaan.Selain itu biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk didegradasi oleh bakteri.Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang tidak larut melalui beberapa mekanisme. Dengan adanya biosurfaktan, substrat yang berupa cairan akan teremulsi dibentuk menjadi misel-misel, dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri. Substrat yang padat dipecah oleh biosurfaktan, sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel (Pelezar, 1986).


Pelepasan biosurfaktan ini tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada.Ada substrat (misal seperti pada pelumas) yang menyebabkan biosurfaktan hanya melekat pada permukaan membran sel, namun tidak diekskresikan ke dalam medium.Namun, ada beberapa substrat hidrokarbon (misal heksadekan) yang menyebabkan biosurfaktan juga dilepaskan ke dalam medium.Hal ini terjadi karena heksadekan menyebabkan sel bakteri lebih bersifat hidrofobik.Oleh karena itu, senyawa hidrokarbon pada komponen permukaan sel yang hidrofobik itu dapat menyebabkan sel tersebut kehilangan integritas struktural selnya sehingga melepaskan biosurfaktan untuk membran sel itu sendiri dan juga melepaskannya ke dalam medium.

  1. Bakteri  Nictobacter. Bakteri ini merupakan bakteri probioaktif yang mampu bekerja menguraikan bahan organik protein,karbohidrat,dan lemak secara biologis. Bermanfaat dalam menguraikan NH3 dan NO pada sampah,tinja,dan kotoran hewan ternak, dan dapat menekan populasi bakteri patogen pada penampung tinja yang menyebabkan sumber air tanah akan terkontaminasi jika air remebesan tinja bercampur dengan sumber air tanah.
  2. Bakteri Endogenous. Tidak hanya mengendalikan senyawa amoniak dan nitrit, teknik bioremediasi dengan menggunakan bakteri endogenus juga bertujuan untuk mengendalikan senyawa H2S yang banyak menumpuk di sedimen tambak (Dwidjosaputro, 1998).Dengan menggunakan bakteri fotosintetik dari jenis Rhodobakter untuk menghilangkan senyawa H2S.“Hasilnya H2S tidak terdeteksi sama sekali di tambak,”Untuk mengatasinya dia menggunakan bakteri dari jenis Bacillus. “Karena bakteri Bacillus yang di gunakan merupakan bakteri endogenous, maka efektivitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan produk bioremediasi dengan menggunakan bakteri dari luar Indonesia,”
  3. Bakteri Nitrifikasi. Nitirifikasi  untuk menjaga keseimbangan senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) di sistem tambak. Pendekatan bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan kelebihan residu senyawa nitrogen yang berasal dari pakan, dilepaskan bempa gas N2 1 N20ke atmosfir. Peran bakteri nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi dinitrogen oksida (N20)atau gas nitrogen (N).
  4. Bakteri Pereduksi Sulfat. Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat sehingga dapat meningkatkan pH tanah bekas tambang batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi maupun kehidupan biota lainnya.
  5. Arthrobacter. Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur 0,8 – 1,2 x 1 – 8  mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk cocus kecil dengan diameter 0,6 – 1 mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak suka asam, aerobik, kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali asam dan gas yang berasal dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif, temperatur optimum 25 – 30oC (Waluyo, 2005).
  6. Acinetobacter. Memiliki bentuk seperti batang dengan diameter 0,9 – 1,6 mikrometer dan panjang 1,5- 2,5 mikrometer. Berbentuk bulat panjang pada fase stasioner pertumbuhannya. Bakteri ini tidak dapat membentuk spora. Tipe selnya adalah gram negatif, tetapi sulit untuk diwarnai. Bakteri ini bersifat aerobik, sangat memerlukan oksigen sebagai terminal elektron pada metabolisme. Semua tipe bakteri ini tumbuh pada suhu 20-300 C, dan tumbuh optimum pada suhu 33-350 C. Bersifat oksidasi negatif dan katalase positif. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk menggunakan rantai hidrokarbon sebagai sumber nutrisi, sehingga mampu meremidiasi tanah yang tercemar oleh minyak. Bakteri ini bisa menggunakan amonium dan garam nitrit sebagai sumber nitrogen, akan tetapi tidak memiliki pengaruh yang signifikan. D-glukosa adalah satu-satunya golongan heksosa yang bisa digunakan oleh bakteri ini, sedangkan pentosa       D-ribosa, D-silosa, dan L-arabinosa juga bisa digunakan sebagai sumber karbon oleh beberapa strain.
  7. Bacillus. Umumnya bakteri ini merupakan mikroorganisme sel tunggal, berbentuk batang pendek (biasanya rantai panjang). Mempunyai ukuran lebar 1,0-1,2 m dan panjang 3-5m. Merupakan bakteri gram positif dan bersifat aerob. Adapun suhu pertumbuhan maksimumnya yaitu 30-50oC dan minimumnya 5-20oC dengan pH pertumbuhan 4,3-9,3. Bakteri ini mempunyai kemampuan dalam mendegradasi minyak bumi, dimana bakteri ini menggunakan minyak bumi sebagai satu-satunya sumber karbon untuk menghasilkan energi dan pertumbuhannya. Pada konsentrasi yang rendah, bakteri ini dapat merombak hidrokarbon minyak bumi dengan cepat.  Jenis Bacillus sp. yang umumnya digunakan seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus laterospor.


           Selain dari golongan bakteri, mikroba pendegradasi hidrokarbon juga dapat dilakukan oleh fungi. Fungi pendegradasi hidrokarbon  umumnya  berasal dari genus Phanerochaete, Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyces, Cladosporium. Jamur dari genus ini mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Jamur Phanerochaete chrysosporium mampu mendegradasi berbagai senyawa hidrofobik pencemar tanah yang persisten. Adapun oksidasi dan pelarutan hidrokarbon polisiklik aromatik oleh Phanerochaete chrysosporium menggunakan enzim lignin peroksidase.  Bila terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari PAH yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon yang merupakan hasil metabolisme. Cincin benzena yang sudah terlepas dari PAH selanjutnya dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan digunakan oleh sel mikroba sebagai sumber energi misalnya CO2.
           Jamur dari golongan Deuteromycota (Aspergillus niger, Penicillium glabrum, P. janthinellum, Zygomycete, Cunninghamella elegans ), Basidiomycetes (Crinipellis stipitaria) diketahui juga dapat mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem enzim monooksigenase Sitokrom P-450 pada jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem yang dimiliki mamalia.  Adapun langkah-langkahnya yaitu pembentukan monofenol, difenol, dihidrodiol dan quinon dan terbentuk gugus tambahan yang larut air (misalnya sulfat, glukuronida, ksilosida, glukosida).Senyawa ini merupakan hasil detoksikasi pada jamur dan mamalia.

Secara umum terdapat tiga cara transpor hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu sebagai berikut :
a) Interaksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air. Pada kasus ini, umumnya rata-rata kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah sehingga tidak dapat mendukung.
b) Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel mikroba. Pada kasus yang kedua ini, perlekatan dapat terjadi karena sel bakteri bersifat hidrofobik. Sel mikroba melekat pada permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel dan pengambilan substrat dilakukan dengan difusi atau transpor aktif. Perlekatan ini terjadi karena adanya biosurfaktan pada membran sel bakteri Pseudomonas.
c) Interaksi sel dengan tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau tersolubilisasi oleh bakteri. Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan partikel hidrokarbon yang lebih kecil daripada sel. Hidrokarbon dapat teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya biosurfaktan yang dilepaskan oleh bakteri Pseudomonas ke dalam medium (Waluyo, 2005).


Biosintesis Asam Lemak C-12 (Tidak Jenuh)
      Pengubahan karbohidrat menjadi lemak memerlukan produksi asam lemak dan gliserol.Hal ini menjadikan asam teresterifikasi.Asam lemak dibentuk oleh kondensasi berganda unit asetat dari asetil CoA. Sebagian besar reaksi sintetis asam  lemak terjadi hanya di kloroplas daun serta di proplastid biji dan akar. Asam lemak yang disintesis di kedua organel ini terutama adalah asam palmitat dan asam oleat.Asetil CoA yang digunakan untuk membentuk lemak di kloroplas sering dihasilkan oleh piruvat dehidrogenase dengan menggunakan piruvat yang dibentuk pada glikolisis di sitosol. Sumber lain asetil CoA pada kloroplas beberapa tumbuhan adalah asetat bebas dari mikotondria. Asetat ini diserap oleh plastid dan diubah menjadi asetil CoA yang digunakan membentuk asam lemak dan lipid lainnya(Dwidjosaputro, 1998).
           Pada reaksi sintesa asam lemak, enzim CoA dan protein pembawa asil (ACP) mempunyai peranan penting.Enzim-enzim ini berperan membentuk rantai asam lemak dengan menggabungkan secara bertahap satu gugus asetil turunan dari asetat dalam bentuk asetil CoA dengan sebanyak n gugus malonil turunan dari malonat dalam bentuk malonil CoA.Sintesa asam lemak berlangsung bertahap dengan siklus reaksi perpanjangan rantai asam lemak hingga membentuk rantai komplit C16 dan C18.
           Bahan utama yang digunakan pada biosintesis asam lemak adalah senyawa asetil CoA dan senyawa malonil CoA.Malonil CoA disintesis dari asetil CoA dengan penambahan CO2 oleh asetil CoA karboksilase.Reaksi pertama pada biosintesis asam lemak adalah pemindahan gugus asetil dan gugus malonil dari CoA ke ACP dengan katalis asetil-CoA; ACP transilase dan malonil-CoA; ACP transilase.Reaksi berikutnya adalah pengkondensasian gugus malonil membentuk asetoasetil-ACP dengan melepaskan CO2. Setelah penkondensasian asetil dengan malonil, tahapan selanjutnya terdiri dari urutan reaksi reduksi dengan katalis 3-ketoasil ACP reduktase, reaksi dehidrasi dengan katalis 3-hidroksi ACP dehidrase, dan reaksi reduksi dengan katalis enoil ACP reduktase. Urutan reaksi-reaksi ini merupakan siklus lintasan pembentukan dan penambahan panjang rantai asam lemak. Hasil sintesa dari urutan reaksi ini adalah  molekul asam lemak yang terikat dengan ACP (Ani, 2012).
Hasil sintesa awal adalah asam lemak rendah dengan jumlah atom karbon sebanyak 4.Hasil sintesis ini selanjutnya kembali memasuki siklus ‘kondensasi-reduksi-dehidrase-reduksi’ untuk menambah panjang rantai asam lemak dengan dua atom karbon. Bila panjang rantai molekul asam lemak hasil sintesis belum cukup, sintesis lanjut berlangsung kembali melalui siklus yang sama. Hasil sintesis asam lemak terdapat terikat dengan ACP dan CoA. Kemudian CoA akan terhidrolisis dan keluar bila asam lemak bergabung dengan gliserol selama pembentukan lemak atau lipid membran.

           Pada reaksi pembentukan asam lemak dibutuhkan banyak energi, di mana dua pasang elektron (2NADPH) dan satu ATP diperlukan untuk tiap gugus asetil.Kebutuhan energi ini di daun dapat tersedia dari fotosintesis yang menyediakan sebagian besar NADPH dan ATP sehingga pembentukan asam lemak pada keadaan terang dapat berlangsung lebih cepat daripada pembentukan pada keadaan gelap.Pada tempat gelap di proplastid biji dan akar, NADPH dapat tersedia dari lintasan respirasi pentosa fosfat, dan ATP dari glikolisis piruvat yang merupakan senyawa asal dari asetil CoA.Sebagian besar asam lemak terbentuk di ER walaupun asam oleat dan asam palmitat dibentuk di plastid.Pada biji, asam lemak yang diproduksi dapat langsung diesterifikasi dengan gliserol membentuk oleosom.Kemungkinan lainnya ialah asam lemak diangkut balik ke proplastid untuk membentuk oleosom.Asam lemak dapat diubah menjadi fosfolipid di ER semua sel sebagai bahan untuk pertumbuhan membran ER dan membran sel lainnya.Di ER pada daun, asam linoleat dan asam linolenat yang disintesis kemudian diangkut dari ER ke kloroplas dan ditimbun sebagai lipid di membran tilakoid.
         

Mekanisme Terjadinya Biosintesis Asam Lemak Tidak Jenuh
Ada dua mekanisme yang sangat berbeda untuk memperkenalkan ikatan rangkap menjadi asam lemak.Hewan, tumbuhan, mikro-organisme eukariotik dan beberapa bakteri aerobik menggunakan jalur aerobik sedangkan mayoritas bakteri menggunakan jalur anaerob.Di jalur aerobik desaturation dari pembentukan asam lemak jenuh terjadi membutuhkan oksigen molekul.Reaksi ini agak rumit dan dilakukan oleh sistem partikulat multienzim yang disebut mono-oxygenase atau fungsi oksidase campuran.Pada eukariota enzim berasal dari ER.Satu atom oksigen menghasilkan molekul air dengan mereaksikan dua hidrogen dari asam lemak.Atom oksigen bebas yang menggabungkan dua atom hidrogen lebih lanjut dari NADPH + H+.Prekursor adalah asam stearat dan produk adalah asam oleat (Hadioetomo, 1993).

Senyawa tersebut adalah turunan Co-A asam bebas yang substratnya digunakan untuk pembentukan asam lemak tak jenuh. Dua utama mono-asam lemak tak jenuh pada eukariota adalah asam oleat dan asam palmitoleic. Keduanya terindikasi memiliki ikatan rangkap 9-10 dan merupakan dasar bagi serangkaian asam polyunsaturated lebih lanjut, untuk contoh asam arachidonic tapi sistem prokariotik tidak mengandung asam lemak tak jenuh di- dan poli.Satu masalah bagi hewan adalah bahwa mereka tidak dapat menyisipkan ikatan rangkap di luar C9 dari asam lemak dan karena itu tidak dapat mensintesis asam linoleat atau asam lemak derivatives sehingga dietarily penting diberikan dari sumber tanaman.Jalur anaerob dimanfaatkan oleh bakteri karena tidak memanfaatkan molekul oksigen meskipun akan dilanjutkan dalam kondisi aerobik. Di ACP berlangsung biosintesis sebenarnya dari asam lemak.Mono-asam lemak tak jenuh sel prokariotik adalah asam vaccenic.

Selama biosintesis asam lemak dua unit karbon ditambahkan pada akhir yang akan menjadi karboksil bebas sehingga untuk tiba pada suatu C18 ikatan ganda asam lemak harus disisipkan di ACP pada tahap C10 (decanoyl). Seperti dalam biosintesis asam lemak jenuh konvensional, penurunan yang terjadi di kelompok ß-oxo direduksi menjadi turunan b-hidroksi.Pada titik ini perbedaan antara kedua jalur terjadi.Cabang kiri jalur tersebut merupakan biosintesis asam lemak sebagai konvensional dehidrasi berikut untuk menghasilkan sebuah ikatan rangkap tak jenuh.Dalam hal ini terjadi penurunan produksi turunan ACP sepenuhnya yang kemudian berlanjut dengan menggabungkan dua fragmen karbon lebih lanjut.

Di sisi lain  ACP reduktase enoyl tidak akan bekerja pada perantara tersebut, hanya dapat mengenali karbon tak jenuh, sehingga ikatan rangkap yang tersisa utuh. Selain itu sintetase SACP ß-oxoacy siap akan mengirimkan dua fragmen karbon ke SACP 3,4 decenoyl yang memiliki efek mendorong ikatan rangkap dari ujung karboksil. Pada bakteri, misalnya E. coli, telah menunjukkan bahwa itu adalah enzim yang sama yang memproduksi ikatan rangkap (Waluyo, 2005).

Immobilisasi Enzim
Sel terimobilisasi adalah suatu sel yang dilekatkan pada suatu bahan inert dan tidak larut dalam bahan tersebut, misal dalam sodium alginat atau kalsium alginat. Dengan sistem ini, sel dapat lebih tahan terhadap perubahan kondisi seperti pH, juga temperatur. Sistem ini juga membantu sel berada di tempat tertentu selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan proses pemisahan dan memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain (Guyton, 1997). Imobilisasi dapat dilakukan terhadap sel maupun terhadap enzim. Imobilisasi enzim dapat dianggap sebagai metode yang merubah enzim dari bentuk larut dalam air “bergerak” menjadi keadaan “tak begerak” yang tidak larut. Imobilisasi mencegah difusi enzim ke dalam campuran reaksi dan mempermudah memperoleh kembali enzim tersebut dari aliran produk dengan teknik pemisahan padat/cair yang sederhana. Imobilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui pengikatan kimiawi molekul enzim pada bahan pendukung, pengikatan silang intermolekuler sesama enzim, atau dengan cara menjebak enzim di dalam gel atau membran polimer (Palmer, 1991).

Imobilisasi sel berkembang setelah imobilisasi enzim. Dalam teknologi imobilisasi enzim terdapat hambatan pada regenerasi koenzim dan keterbatasan metode yang dapat diterapkan untuk menyusun molekul enzim dalam rangkaian tertentu, sehingga dapat melakukan tahapan reaksi katalitis enzim yang berkesinambungan. Untuk mencegah hambatan tersebut dilakukan penelitian-penelitian, sehingga terjadi pengembangan pada imobilisasi sel, yang dapat digunakan sebagai biokatalis. Hal ini memungkinkan untuk melakukan imobilisasi seluruh sel dan menjaga sel tetap hidup (viabel). Dalam praktiknya, metode yang digunakan adalah menjebak sel dalam gel dengan adsorpsi. Selain itu, pengontrolan perlu dilakukan untuk mencegah inaktivasi dari aktivitas metabolisme yang penting, sehingga pemisahan biokatalis dari produk lebih mudah dan membuat biokatalis lebih stabil (Guyton, 1997).

            Kelebihan penggunaan sel immobilisasi dibandingkan dengan sel bebas antara lain sebagai berikut:
·  Immobilasi menyediakan konsentrasi sel yang tinggi.
·  Immobilisasi memungkinkan penggunaan sel kembali dan mengurangi biaya recovery sel dan recycle sel.
·  Immobilisasi mengurangi masalah wash out sel pada laju alir yang tinggi.
· Kombinasi konsentrasi sel yang tinggi dan laju alir yang tinggi (tanpa batasan wash out) menghasilkan produktivitas volumetric yang tinggi.
· Immobilisasi menyediakan kondisi micro environmental yang menguntungkan seperti kontak antar sel, gradient nutrient-produk, gradient pH untuk sel sehingga menghasilkan kinerja biokatalis yang lebih baik (kecepatan pembentukan dan yield produk yang lebih tinggi).
·  Immobilisasi menyebabkan kestabilan genetik.
·  Immobilisasi menyediakan perlindungan terhadap kerusakan sel.
Kekurangan penggunaan sel terimobilisasi adalah hambatan pada proses difusi baik substrat maupun produk yang terbentuk. Untuk sel yang hidup, pertumbuhan dan evaluasi gas sering merusak matriks pendukung sel terimmobilisasi.

Secara umum, ada dua jenis sel immobilisasi yakni:
1.      Immobilisasi Aktif
Immobilisasi ini dilakukan dengan dua metoda yaitu metoda penjeratan dan metoda pengikatan.Metoda penjeratan dilakukan secara fisik dalam matriks pendukung.Matriks pendukung yang bisa digunakan yaitu polimer porous (agar, alginate, carragenan, polyacrylamide, chitosan, gelatin, collagen), porous metal screen, polyurethane, silicagel, polystyrene, dan selulosa triacetate. Polymeric beads harus cukup porous untuk keluar masuknya substrat dan produk.  Polymeric beads biasanya dibentuk dengan menggunakan sel hidup di dalamnya.
2.      Immobilisasi Pasif
Berbentuk biological films yang berbentuk lapisan-lapisan koloni sel yang tumbuh dan melekat pada permukaan pendukung yang padat.Material pendukung dapat bersifat inert atau aktif secara biologis.Biological films digunakan pada pengolahan limbah atau fermentasi mikroba dengan jamur.

Aplikasi Pengembangan Rekayasa Bioproses.
     Proses produksi biodiesel dari biji karet (Hevea brasiliensis) yang dilaksanakan di Indonesia pada umumnya memakai metode katalis (asam atau alkil) dan metode pencucian basah atau metode pencucian kering. Metode katalis membawa banyak kerugian antara lain: waktu produksi lama, biaya produksi tinggi karena menggunakan magnesol sebagai absorban, terutama jika pemurniannya menggunakan air (sistem pencucian basah) karena akan dapat merusak komponen mesin seperti misalnya: seal cepat bocor, mudah timbul jamur, karat / korosi pada silinder head, pompa dan saringan bahan bakar sering buntu, dan sebagainya. Proses produksi biodiesel dengan metode non-katalis dapat mengatasi kelemahan seperti disebutkan di atas. Pada studi ini, minyak biji karet diperoleh dengan metode pengepresan. Spesifikasi minyak adalah sebagai berikut: viskositas 5,19 cSt, densitas 0,9209 g/ml, kandungan air 0,2%, asam lemak bebas (FFA) 6,66%, dan titik didih 305oC. Metodelogi yang digunakan adalah pemrosesan biji karet menjadi biodiesel metode non-katalis superheated methanol. Tranesterifikasi berlangsung di dalam sebuah Bubble Column Reactor (BCR) pada temperatur reaksi 270oC, 275oC, 280oC, 285oC, dan 290oC serta pada tekanan atmosfir. Rasio molar antara methanol dan minyak biji karet adalah: 140, 150, dan 160.

     Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati metode katalis biasanya melalui berbagai tahapan proses yaitu: proses degumming untuk melepaskan getah atau lendir yang dikandungnya, esterifikasi untuk menurunkan kadar FFA sampai di bawah 2,5% untuk mencegah penyabunan, dan tranesterifikasi untuk memperoleh metil ester atau biodiesel dan kemudian pencucian. Tetapi dalam pengembangannya menggunakan metode non-katalis ternyata bahwa minyak biji karet yang memiliki kadar FFA tinggi (di atas 2,5%) dapat secara langsung diproses tranesterifikasi tanpa terjadi penyabunan dan dapat menghasilkan biodiesel tanpa harus mengalami proses pendahuluan degumming, esterifikasi, maupun pencucian. Densitas, angka setana, titik tuang, titik nyala, dan angka asam metode non-katalis lebih baik dari pada metode katalis.Kelemahannya adalah bahwa residu karbon mikro yang dikandung oleh biodiesel minyak biji karet (B-100) masih cukup tinggi di atas standar yang diijinkan.Kadar metil ester optimum diperoleh pada rasio molar 160 dan temperatur reaksi 290oC karena menghasilkan biodiesel terbesar dan gliserol terkecil.

2 comments:

  1. selamat malam, nama saya tito mahasiswa dari bandung, setelah saya baca blog sdr, alhamdulillah ini membuka wawasan sekali, ilmu2nya sangat bermanfaat. tapi maaf sebelunya, kalo boleh saya ingin meminta sumber referensinya, biar lebih afdol ketika dibagikan ke sesama, sehingga terjalinlah amal yang tak putus2 untuk kita semua. thanks, mohon bantuannya :)

    ReplyDelete
  2. trims karena sdr sudah membaca blog saya. saya itu mengunpulkan dari banyak jurnal, artikel, dan skripsi dan diskusi bersama dengan dosen-dosen pembimbing, jadi sumbernya sedikit tercecer karena sebagian besar saya lupa mencatatnya, Maaf ya. jika ingin belajar tentang lebih banyak lagi tentang jurnal ilmu mikrobiologi yang memiliki keterkatitan dengan lingkungan maupun pangan silahkan kunjungi http://aem.asm.org/ dari download jurnal disitu saya mengumpulkan landasan teori untuk tugas kuliah maupun bahan skripsi.

    ReplyDelete