Biofouling adalah penempelan dan pertumbuhan organisme pada permukaan benda atau material yang terbenam di laut. Kejadian ini sangat merugikan industri maritim seperti perkapalan, bangunan atau struktur pelabuhan, dan pipa penyalur air pendingin pada Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Untuk penanggulangannya, banyak digunakan cat antifouling yang mengandung logam berat dan TBT (tributyltin) sebagai bahan aktif yang efektif. Penggunaan zat ini meningkat sangat cepat sejak tahun 1970. Aplikasi TBT ini ternyata menyebabkan timbulnya pencemaran lingkungan karena merusak banyak kehidupan biota non-target yang mempunyai nilai ekonomi.
TBT bukan hanya dikenal sebagai bahan antifoulant yang paling efektif, tetapi juga merupakan biosida yang paling toksik dan tidak mudah terdegradasi di lingkungan alami. Oganisasi Maritim Internasional (IMO) melarang pemakaian bahan tersebut untuk cat kapal yang secara efektif dimulai 17 September 2008. Oleh karena itu pencaharian alternatif bahan anti foulant non-toksik yang ramah lingkungan sangat dibutuhkan saat ini.
Bintang Marhaeni, staf pengajar di Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto telah meneliti bakteri simbion pada daun lamun yang berpotensi sebagai penghambat terjadinya biofouling di laut. Penelitian tersebut merupakan bahan disertasinya dalam menyelesaikan studi S3 di Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pasca Sarjana IPB (Institut Pertanian Bogor), dibimbing oleh Prof. Dr. Ir Dietriech G. Bengen, DEA, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc serta Drs. Ocky Karna Rajasa, Ph.D selaku anggota.
Bintang mengambil contoh daun lamun di Teluk Awur, Jepara, Jawa Tengah. Isolasi, kultur dan uji hambat bakteri, baik isolat murni bakteri maupun bakteri yang telah diekstrak di lakukan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Kajian tentang penempelan organisme fouling pada substrat yang dicat dengan mencampurkan ekstrak bakteri lamun dilakukan di Kamal Muara, Jakarta Utara. Identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Serangkaian penelitian yang dilakukan memperlihatkan bahwa terjadinya peristiwa makrofouling selalu diawali dengan terbentuknya mikrofouling atau biofilm bakteri. Maka, berdasarkan hal tersebut, penghambatan terhadap terjadinya mikrofouling atau biofilm bakteri merupakan salah satu cara panghambatan terhadap terjadinya makrofouling atau lebih dikenal sebagai biofouling. Zona hambat bakteri endofit pada uji coba hambat terhadap bakteri biofilm memperlihatkan ukuran zona hambat lebih besar dibandingkan bakteri epifit. Zona hambat isolat bakteri paling besar pada bakteri biofilm adalah bakteri epifit Enhalus acoroides.
Bakteri endofit Syringodium isoetifolium merupakan bakteri yang memiliki zona hambat paling besar di antara bakteri yang diisolasi dari jenis lamun yang lain. Ekstrak bakteri epifit Thalassia hemprichii memiliki zona hambat paling besar di antara bakteri epifit pada jenis lamun yang lain.
Pada aplikasi lapang, balok kayu yang dicat dengan cat tanpa antifoulant sintetis yang dicampur ekstrak bakteri lamun dengan perbandingan 50% : 50% tidak dijumpai makroorganisme yang menempel. Bakteri tersebut teridentifikasi sebagai genus Virgibacillus.
Hasil penelitian ini membuka peluang pengembangan teknologi industri cat antifouling yang ramah lingkungan, meskipun jalan ke situ masih panjang dan memerlukan penelitian-penelitian lanjutan lain. Meskipun demikian, hasil penelitian ini telah menambah pengertian potensi manfaat padang lamun dan mendorong pentingnya perlindungan ekosistem ini.
sumber : http://seagrass-indonesia.oseanografi.lipi.go.id
No comments:
Post a Comment